Lampung Butuh Rp1 Triliun untuk Perbaikan Jalan Rusak
Sebagai warga yang sering melintasi ruas jalan Lampung, saya merasakan langsung betapa besarnya dampak jalan rusak terhadap kehidupan sehari-hari. Mulai dari ongkos transportasi yang membengkak, sulitnya akses pendidikan untuk anak-anak sekolah, hingga turunnya harga jual hasil tani di tingkat petani karena biaya angkut menjadi lebih tinggi. Dari pengalaman pribadi ini, saya semakin memahami mengapa masyarakat mendesak pemerintah segera memperbaiki jalan tersebut.
Ruas jalan di beberapa titik masih berupa tanah berbatu yang sangat menyulitkan, terutama ketika musim hujan tiba. Kendaraan roda empat sering kali tak bisa masuk, membuat warga harus menyewa jasa ojek motor trail yang ongkosnya bisa dua kali lipat dari biaya normal. Saya sendiri pernah ikut rombongan petani kopi di daerah Suoh yang terpaksa mengeluarkan ongkos besar hanya untuk membawa hasil panen ke pasar. Situasi ini jelas merugikan petani kecil yang sudah berjuang keras di ladang.
Isu kebutuhan dana Rp1 triliun untuk pembangunan jalan di Lampung bukan sekadar angka di atas kertas. Kepala Dinas Bina Marga dan Bina Konstruksi Provinsi Lampung, M. Taufiqullah, menjelaskan bahwa untuk membangun 92 kilometer jalan rusak dibutuhkan sekitar Rp920 miliar. Biaya itu dihitung berdasarkan estimasi Rp10 miliar per kilometer. Artinya, tanpa dukungan anggaran besar, perbaikan jalan hanya bisa dilakukan secara bertahap dengan memprioritaskan jalur yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan volume kendaraan padat.
Namun, jika pemerintah hanya bergantung pada APBD, pembangunan akan memakan waktu lama. Karena itu, skema pendanaan alternatif seperti pinjaman daerah atau kerjasama dengan pusat menjadi pilihan yang harus dipertimbangkan. Menurut saya, pemerintah daerah perlu berani mengambil langkah strategis agar pembangunan tidak terus tertunda. Warga sudah terlalu lama menanggung beban akibat jalan yang rusak parah.
Bagi masyarakat Tanggamus, ruas jalan Kiluan–Simpang Umbar hingga Blok 9 Suoh menjadi cerita klasik yang tak pernah selesai. Setiap hujan deras, jalan berubah menjadi kubangan lumpur. Saya pernah menyaksikan sendiri bagaimana anak-anak sekolah terpaksa menuntun sepeda motor karena tak sanggup melintasi jalur yang becek hingga setengah ban motor. Hal seperti ini bukan hanya menghambat aktivitas, tetapi juga bisa membahayakan keselamatan.
Di Way Kanan, kondisi serupa dialami pelajar dan pekerja yang bergantung pada jalur Kasui–Air Ringkih menuju perbatasan Sumsel. Banyak yang mengeluh karena jatuh berulang kali saat jalan licin. Sementara di Tulang Bawang, akses jalan yang buruk membuat biaya distribusi gabah melonjak sehingga harga di tingkat petani menurun drastis. Saya melihat kondisi ini sebagai sebuah ironi: Lampung dikenal sebagai salah satu lumbung pangan, tapi petaninya justru merugi karena akses jalan yang tak layak.
Masalah jalan rusak ini sebenarnya memiliki dampak domino terhadap berbagai sektor. Akses pendidikan terganggu, perekonomian melemah, dan kesehatan masyarakat pun bisa terdampak karena distribusi obat atau layanan medis menjadi lebih lambat. Saya menilai bahwa penyelesaian masalah ini seharusnya masuk dalam prioritas utama pembangunan daerah. Tidak hanya karena berkaitan dengan kesejahteraan ekonomi, tetapi juga karena menyangkut hak dasar masyarakat untuk mendapatkan akses mobilitas yang layak.
Jika pembangunan jalan di Lampung benar-benar terealisasi dengan anggaran Rp1 triliun, dampaknya akan sangat besar. Distribusi hasil pertanian akan lebih lancar, biaya transportasi turun, harga jual produk tani bisa lebih tinggi, serta akses anak sekolah dan layanan publik akan lebih mudah. Harapan masyarakat sederhana: bisa melewati jalan yang layak tanpa harus mengeluarkan ongkos tambahan atau mempertaruhkan keselamatan. Dari pengalaman pribadi dan pengamatan saya, masalah jalan rusak ini bukan hanya pekerjaan rumah pemerintah, tetapi juga ujian komitmen mereka terhadap rakyat Lampung.
Posting Komentar